Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan putusnya ikatan dalam hubungan suami istri berarti putusnya hukum perkawinan sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami istri dan tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga. Cerai dalam kamus besar bahasa indonesia adalah pisah, putus hubungan sebagai suami istri atau lepasnya ikatan perkawinan. Inilah pemahaman umum terkait dengan istilah cerai. Perceraian bukanlah kesepakatan oleh karena itu, perceraian perkawinan tidak boleh didasarkan pada adanya kesepakatan untuk bercerai. Perceraian merupakan pintu darurat atau alternatif terakhir yang bisa dipilih untuk menyelesaikan persengketaan dalam perkawinan. (Dr.Djoko, 2016): Perceraian boleh dilakukan dengan satu alasan hukum saja di antara beberapa alasan hukum yang di tentukan dalam pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975. Jadi, secara yuridis, alasan-alasan hukum perceraian tersebut bersifat alternatif, dalam arti suami istri dapat mengajukan tuntutan perceraian cukup dengan salah satu alasan hukum saja. Selain itu, enumeratif, dalam arti penafsiran, penjabaran dan penerapan hukum secara lebih kongkret tentang masing-masing alasan hukum perceraian merupakan wewenang hakim di pengadilan. (Syaifuddin, 2014):
Pengertian Cerai Gugat
Cerai gugat adalah tuntutan hak ke pengadilan (bisa dalam bentuk tulisan atau lisan) yang di ajukan oleh seorang istri untuk bercerai dari suaminya. Penggugat adalah istri yang mengajukan perceraian, dan Tergugat adalah suami. Gugatan diajukan oleh pengugat pada ketua pengadilan agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung sengketa dan merupakan suatu landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Dalam gugatan ada istilah penggugat dan tergugat. Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya ke muka pengadilan perdata. Penggugat bisa satu orang badan hukum atau lebih, sehingga ada istilah penggugat I, penggugat II, penggugat III dan seterusnya. Lawan dari penggugat disebut tergugat. Dalam hal tergugat pun bisa ada kemungkinan lebih dari satu orang/badan, sehingga ada istilah tergugat I, tergugat II, tergugat III dan seterusnya. Gabungan penggugat atau gabungan tergugat disebut dengan kumulasi subjektif. Dan idealnya dalam perkara di pengadilan ada penggugat dan tergugat. Inilah peradilan yang sesungguhnya (jurisdictio contentiosa). Dan produk hukum dari gugatan adalah putusan pengadilan. (Dr.Mardani, 2009: 43)
Dasar Hukum Perceraian
Dasar hukum perceraian dapat ditemui dalam al-Qur’an banyak ayat yang berbicara tentang masalah perceraian. Diantaranya ayat-ayat yang menjadi landasan hukum perceraian adalah firman Allah SWT: ِن قَهَا فَإ َّ ل َح بَۡع د ِم ن ل ل َت َل ف طَ قَهَا يَ َت ََ ََا َج ن ن إََف َغۡي ََه ًجا َزۡو ن ِك َح ت َّت َّ ل َل طَ جنَا َح فَ ِهَما ِن َعا أ ٢٣٠َ علَۡي ا إ َما أن ظَنَّ َّل ح دو َد ي قِي َك ٱل ۡ َّل ح دو د َوتِل ن هَا ي َب ٱل ِ لِ َق ي مو َن ۡعل َي ۡوم Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum Allah. Itulah hukumhukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. AlBaqarah ayat 230). (RI, 2014)
Dasar Hukum Cerai Gugat
Dalam konteks hukum islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/175. Jika dalam UUP dan PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oelah suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri yang terdapat dalam pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi: “gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama, yang didaerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman suami tanpa izin suami.” Gugatan perceraian dapat diterima oleh tergugat pernyataan atau tidak sikap mau lagi kembali kerumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI) Dasar hukum: 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 TENTANG Perkawinan 2. Peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Intruksi presiden No.1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Komplikasi Hukum Islam
Prosedur Cerai Gugat
Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar Negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Dari isi pasal diatas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama perubahan kewenanagn relatif Pengadilan. Kalau dalam Peraturan Pemerintah permohonan diajukan suami ke Pengadilan yang meliputi tempat tinggalnya sendiri, sedang gugatan diajukan isteri ke Pengadilan di tempat tinggal suami, maka dalam Undang-Undang Peradilan Agama Pasal 66 ayat (1) dan pasal 73 ayat (1) dipindahkan ke Pengadilan yang meliputi tempat tinggal bersama yang disepakati. Kedua, dipertahankan bahkan semakin dipertegas adanya pembedaan prosedur perceraian antara cerai talak dengan cerai gugat. Dalam KHI Pasal 136 disebutkan tentang prosedur cerai gugat di Pengadilan Agama: a. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. b. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat c. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami d. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. e. Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu, sesuai dengan KHI Pasal 137. Pada saat proses pemanggilan para pihak apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Pengumuman melalui surat kabar atau mass media dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua, dengan tenggang waktu antara panggilan kedua dan hari persidangan sekurang kurangnya tiga bulan. Apabila setelah dilakukan pemanggilan secara patut namun tergugat juga tidak hadir maka gugatan dapat diterima tanpa hadirnya tergugat kecuali gugatan tersebut tidak beralasan pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian. f. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Namun untuk kepentingan pemeriksaan suami atau isteri mewakilkan, hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Mengenai putusan gugatan perceraian diatur dalam KHI Pasal 146 bahwa: 1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Soemiyati, 2011: 64).
Akibat Hukum dalam Cerai Gugat
Perceraian adalah bagian dari dinamika rumah tangga, adanya perceraian karena adanya perkawinan meskipun tujuan perkawinan bukan perceraian, tetap perceraian merupakan sunnatullah meskipun penyebabnya berbeda-beda. Bercerai dapat disebabkan oleh kematian suaminya, dapat pula karena rumah tangganya tidak cocok dan pertengkaran selalu menghiasi perjalanan rumah tangga suami isteri, bahkan ada pula yang bercerai karena salah satu dari suami atau isteri tidak lagi fungsional secara biologis. Kata “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti (kata kerja), pisah atau putus hubungan sebagai suami isteri; talak perpisahan antara suami isteri selagi kedua-duanya masih hidup.23 Menurut istilah, gugatan berasal dari kata gugat yang mendapatkan akhiran, sehingga menjadi gugatan. Gugatan sendiri mempunyai pengertian untuk memulai dan menyelesaikan perkara perdata yang diantara masyarakat, salah satu pihak harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada Pengadilan. Sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “gugat” yaitu (kata kerja) dakwa; adukan (perkara), nuntut mendakwa, mengadukan (perkara): jika hendak anda harus membawa bukti-bukti yang sah, menuntut (janji,dsb) membangkit-bangkitkan perkara yang sudah-sudah, mencela dengan keras atau menyanggah. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa cerai gugat adalah pisah atau putusnya hubungan suami isteri karena adanya gugatan atau tuntutan yang diajukan oleh pihak suami atau isteri kepada Pengadilan Agama disertai adanya alasan-alasan yang jelas (Soemiyati, 2011: 83). Dalam konteks hukum islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Jika dalam Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau isteri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh isteri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi: “Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya wilayah tempat tinggal penggugat kecuali kristeri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami” Gugatan perceraian ini baru dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat 2 KHI). Namun dalam istilah Fiqih cerai gugat dikatakan sebagai Fasakh. Fasakh secara bahasa membatalkan atau mengangkat. Istilah fasakh dalam perspektif Fiqih berbeda dengan yang berkembang di Indonesia. Fiqih madhhab menilai apabila inisiatif tersebut dari isteri atau suami yang tidak menggunakan hak talak akan tetapi diputuskan oleh hakim maka disebut dengan Fasakh26. Pada asasnya Fasakh adalah hak suami atau isteri, akan tetapi dalam pelaksanaanya lebih banyak dilakukan oleh pihak isteri dari pada pihak suami. Hal ini disebabkan karena Agama Islam telah memberikan hak talak kepada suami. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tepatnya Pasal 73 ayat (1) Tentang Peradilan Agama yang mengatakan bahwa cerai gugat adalah gugatan yang diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dapat dikatakan bahwa cerai gugat yaitu gugatan yang diajukan oleh isteri terhadap suami. Nantinya isi amar putusan Hakim Pengadilan Agama adalah menjatuhkan talak 1 (satu) “bain sughra” dari tergugat kepada penggugat. Dalam cerai gugat pihak suami tidak mengucapkan ikrar talak di hadapan Pengadilan Agama karena yang meminta cerai adalah isteri. Suami juga tidak diwajibkan memberi nafkah iddah dan mut’ah kepada isteri. Dalam praktik di Pengadilan Agama, baik dalam cerai talak maupun cerai gugat isteri dapat mengajukan permohonan kepada Hakim Pengadilan Agama untuk meminta nafkah lalu yaitu nafkah yang tidak diberikan suami kepada istri. Menurut Bustanul Arifin menyatakan bahwa suami isteri memiliki fungsi dan tanggung jawab masing-masing yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang satu yaitu tercapainya kebahagian rumah tangga dan keluarga atau terwujudnya rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Tidak itu saja, hubungan kedudukan tersebut juga mengandung rasa keadilan sekaligus sangat potensial untuk dikembangkan dalam menghadapi perubahan-perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat. Peceraian adalah peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau peristiwa hukum yang diberi akibat hukum. Percerain menimbulkan akibat hukum putusnya perkawinan. selain itu, ada beberapa akibat hukum lebih lanjut dari perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Hak Istri Dalam Cerai Gugat
Dalam Hukum Islam isteri menjadi tanggungan dari suaminya selama dalam masa iddah. Apabila dalam perceraian itu isteri tidak bersalah, maka isteri dapat memperoleh biaya hidup selama dalam masa iddah yaitu 90 hari. Pengaturan hakhak isteri pasca perceraian juga diatur dalam Undang-Undang perkawinan Tahun 1974, ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam Undangundang perkawinan diatur dalam pasal 41. a. Isteri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam masa itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, namun hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentuk hak yang diterima tidak bergantung pada masa iddah yang dijalaninya, tetapi bergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya. b. Isteri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak diterimanya dikelompokkan kedalam tiga macam: 1) Isteri yang di cerai dalam bentuk talak raj’iy, hak yang diterimnya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal. 2) Isteri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sughra ataupun bain kubra dan dia sedang hamil. Dalam hal ini ulama sapakat, bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal. 3) Hak isteri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal isteri dalam keadaan hamil ulama sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafqah dan tempat tinggal, namun bila isteri tidak dalam keadaan hamil ulama beda pendapat. Sebagian ulama diantaranya imam Malik, al-syafi’iy dan Abu Hanifah berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal, dan sebagian ulama diantaranya imam Ahmad berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat yang tidak hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal. Adapun setelah perceraian Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri (Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Ketentuan ini dimaksudkan agar bekas isteri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas isterinya, kewajiban-kewajiban tersebut adalah: 1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau 2) benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul 3) Memberi nafkah kepada isteri selama masa iddah, kecuali bekas isteri telah 4) dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil 5) Melunasi mahar yang masih terutang dan apabila perkawinan itu qabla al 6) dhukul mahar dibayar setengahnya 7) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun 2.5 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan merupakan sesuatu perbuatan yang tidak diinginkan oleh setiap orang. Begitu juga dalam Islam tidak menghendaki adanya tindak kekerasan. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia istilah kekerasan di artikan sebagai perbuatan seorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera / matinya orang / menyebabkan kerusakan fisik / barang orang lain (Nasional, 2008: 677). Sedangkan Pasal 1 ayat 1 UU-PKDRT menjelaskan pengertian kekerasan dalam rumah tangga setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesensaraan atau penderitaan secara Fisik, Seksual Psikologis, atau Pelantaran Rumah Tangga termasuk ancaman melakukan pemaksaan, atau Perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Keterangan “Terutama Perempuan” dalam Pasal di atas menunjukan bahwa perempuan mendapatkan penekanan khusus dalam undang-undang ini. Sebab kekerasan dalam rumah tangga dapat mengenai siapapun yang menjadi anggota keluarga baik suami, istri, anak, maupun mereka yang bekerja dalam rumah tangga tersebut. Memang dalam kenyataannya tindak kekerasan dalam rumah tangga lebih sering dilakukan laki-laki terhadap perempuan, khususnya suami terhadap istri. (Rubiyatmoko, 2008: 66). Peristiwa yang tidak di inginkan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda bagi setiap orang, ada yang tidak menerima, namun ada juga yang justru bangkit dan bahkan mendapatkan hal-hal yang luar biasa ditengah-tengah kesedihan yang di alaminya (Maisyarah, 2012: 17). Dengan demikian menurut hemat Penulis, secara garis besar kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan yang menyebabkan adanya kerusakan secara fisik mapun non fisik dalam lingkup keluarga. 2.6 Jenis-jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Ada Empat Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu : 1. Kekerasan Fisik Kekerasan Fisik sebagaimana disebutkan pada Pasal 6 bahwa : “ Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan sakit, Jatuh sakit, atau luka berat. 2. Kekerasan Psikis Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis pada seseorang. 3. Kekerasan Seksual Meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut. Serta pemaksaaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan oranglain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu. Pemaksaan seorang suami terhadap seorang istri dengan memaksa termasuk bentuk kekerasan. Begitu juga termasuk pemaksaan seorang bapak terhadap anaknya melakukan hubungan seksual juga termasuk kekerasan. 4. Pelantaran Rumah Tangga Pengertian Pelantaran Rumah Tangga dalam Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga No.23 tahun 2004 tidak dijelaskan dengan jelas, namun Salim dan Erlies Septiana Nurbani mengemukakan pendapat mengenai pengertian penelantaran rumah tangga, bahwa pengertian penelantaran rumah tangga merupakan kegiatan yang tidak memberikan kehidupan, perawatan, ataupun pemeliharaan kepada orang yang menurut hukum merupakan kewajiban yang bersangkutan (Salim, 2014: 109).